POTENSI ANTRAX SEBAGAI PEMBUNUH MASAL

Oleh: Rondius Solfaine *)

Antrax, mempunyai sejarah panjang sebagai penyakit ganas pada ternak pemakan rumput (herbivora) dan dapat menular pada manusia (zoonosis). Apabila wabah antrax yang menjakiti suatu daerah tertentu maka akan berdampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat disekitarnya. Hal ini berkaitan dengan sifat alami kuman antrax (Bacillus Anthracis) yang berspora sehingga dapat bertahan hidup berpuluh tahun di lingkungan, tingkat keganasan yang tinggi, waktu inkubasi singkat (2-3 hari) untuk  menyebabkan kematian dan sangat menular atau menyebar antar hewan berdarah panas serta menginfeksi manusia melalui bahan makanan tercemar atau udara yang terkandung spora B. anthracis. Kerugian sosial ekonomi pada wabah antrax meliputi jumlah kematian besar pada ternak , pelarangan konsumsi daging dan produk asal hewan lain, pelarangan lalu lintas perdangangan ternak, pemusnahan masal, pengadaan vaksin dan penutupan total (isolasi) di daaerah yang terkena wabah antrax. Sementara dampak bagi kesehatan masyarakat dapat menimbulkan kepanikan, rasa tidak aman dan tertular infeksi antrax yang mematikan.

  Dari cacatan sejarah, sejak jaman Yunani Kuno (430-427SM) antrax sudah menyerang pada ternak, bahkan antrax diduga sudah digunakan sebagai bahan untuk meracuni bahan logistik musuh dalam peperangan. Selanjutnya, pada masa abad pertengahan di Eropa, Antrax digunakan sebagai senjata biologis dalam peperangan, kemudian baru pada awal abad ke-20 Antrax telah dikembangkan menjadi senjata biologis modern dan sangat mematikan. Hal tersebut terkait dengan keberhasilan penemuan ilmuwan Eropa tentang teknik pemurnian dan produksi kuman Bacillus Anthracis.

Pada perkembangannya, sesuai kesepakatan internasional yang tertuang dalam konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Agen-Toxin Biologis pada tahun 1972, telah disepakati oleh 103 negara untuk tidak menggunakan agen biologis dan sejenisnya sebagai senjata pemusnah masal. Namun adanya kejadian wabah antrax di Sverdlovsk bagian wilayah Uni Sovyet (1980an) dan penemuan instalasi produksi Antrax di Iraq (1990an), menunjukkan antrax terus dikembangkan sebagai senjata pemusnah masal oleh negara-negara tertentu untuk kepentingan militer.

Menurut Riedel (2004) senjata biologis pemusnah masal seperti Antrax, mempunyai sifat keunikan tersendiri dibanding senjata konvesional yaitu tidak terlihat, mempunyai efek yang lama dan mampu menjangkau pada sasaran yang luas. Efek yang ditimbulkan senjata biologis dapat berupa rasa takut, kepanikan dan suasana ketidakpastian serta kematian yang sangat besar. Dengan melihat hal tersebut, cara penanggulangan pengggunaan senjata biologi yang paling tepat dengan penegakan aturan global yang ketat untuk menolak segala bentuk pemakaian senjata biologis,  pengembangan teknik deteksi dini dan penemuan obat yang efektif terhadap agen biologis tersebut.

Berdasarkan berita Kompas.com (1/3/2011) terdapat lima orang pasien yang terinfeksi kuman Bacillus anthracis, berdasarkan pemeriksaan klinis-laboratoris  dan oleh Pemda Boyolali menetapkan sebagai KLB Antrax di enam kecamatan Klego, Andong, Karanggede, Nogosari, Simo dan Kemusu. Kabupaten  Boyolali Jawa Tengah, diketahui merupakan daerah dengan populasi relatif padat ternak sapi potong dan sapi perah.

Sebenarnya kasus antrax sudah terjadi sejak jaman sebelum kemerdekaan, bahkan dewasa ini kasus antrax telah dilaporkan meliputi hampir seluruh propinsi di Indonesia. Hal ini terkait dengan jumlah keseluruhan  populasi sapi dan kerbau tidak kurang dari 17 juta ekor sedangkan populasi kambing dan domba hampir 25 juta ekor  (Deptan, 2008). Kelompok hewan ternak pemamah-biak tersebut merupakan hewan yang paling peka terhadap serangan infeksi antrax, sehingga jika dikaitkan antara jumlah populasi ternak dan luasnya daerah populasi ternak, antrax sangat berpotensi menjadi ancaman penyakit mematikan pada ternak dan masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian telah merumuskan Sistem Kesehatan Hewan Nasional (Siskeswannas) yang sangat penting bagi strategi penanggulangan, pemberantasan dan pencegahan terhadap penyakit hewan. Dalam Siskeswannas tersebut, pemerintah mempunyai kewenangan luas yang meliputi antara lain dalam menerbitkan atau mencabut sertifikat, menolak, membatasi atau mengatur impor, ekspor dan pergerakan domestik hewan, produk hewan  danturunannya,  menyita atau memusnahkan hewan atau produk hewan yang illegal,
memerintahkan dan melaksanakan isolasi, karantina, pemeriksaan dan pengujian terhadap hewan atau lokasi dimana hewan dipelihara dan
menyetujui, meregistrasi dan mensupervisi pengelolaan lokasi peternakan dan orang-orang yang terkait dan mencabut persetujuan tersebut apabila terjadi pelanggaran (Deptan, 2009). Hanya pada realitas di lapangan, sering terjadi keterlambatan dalam tanggap cepat dan penanggulangan penyakit hewan di masyarakat. Unit-unit pelaksana teknis pusat dan instansi dinas daerah terkait selalu terkungkung dengan sistem birokrasi yang ruwet, sehingga efektivitas kolaborasi unit kesehatan hewan pusat-daerah tidak tercapai dan tumpang tindih dalam penanganan kasus penyakit hewan yang berdampak luas dan penanganan cepat seperti KLB antrax di Boyolali.

Wacana sejumlah kalangan ahli kesehatan hewan mengenai bentuk otoritas dibidang veteriner baik ditingkat pusat dan daerah untuk mengefektifkan dan mengkolaborasikan potensi unit-unit pelaksana teknis kesehatan hewan secara mandiri, profesional dan dilindungi secara hukum perlu segera direalisasikan oleh Presiden RI dengan mempertimbangkan tantangan dan besarnya sumber daya peternakan-kesehatan hewan dalam upaya penyediaan sumber protein hewani murah (telur, daging dan susu) yang sehat dan mencerdaskan bagi generasi muda.

Antrax, sebagai penyakit infeksius mempunyai tiga dimensi penting bagi masyarakat, yang pertama sebagai ancaman terhadap peternakanyang merupakan sumber penghasilan, bahan pangan dan sendi ekonomi, yang kedua sebagai agen penyakit mematikan dan yang ketiga sebagai bahan mikrobiologis yang berpotensi disalahgunakan untuk senjata biologis. Menurut hemat penulis, pemerintah harus segera menata kembali dan memberdayakan sistem peternakan-kesehatan hewan yang ada dalam Siskeswannas, baik tingkat pusat dan daerah, membangun sistem yang modern dibidang peternakan dan mengefektifkan peran otoritas dibidang veteriner sebagai lembaga independen untuk menyambut kemajuan dan tantangan dibidang perternakan di masa depan.

Refensi:1. Riedel Stefan.2004. Biological warfare and bioterrorism:historical review. Proc (Bayl Univ Med Cent). 17(4): 400–406.

2.www.  Deptan.go.id

*) Staf Pengajar Bagian Anatomi Patologi, FKH UWKS/Alumni UGM Yogyakarta

Tinggalkan komentar